-->

Kamis, 13 Januari 2011

Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) / Chronic Obstructive Pulmonary Disease/COPD

A.    PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Menahun /PPOM (Chronic Obstructive Pulmonary Disease/COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis.PPOM lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal. PPOM juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor yang dirurunkan.

Bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu yang tidak berbahaya, bisa meningkatkan resiko terjadinya PPOM. Tetapi kebiasaan merokok pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan seseorang, dimana sekitar 10-15% perokok menderita PPOM. Angka kematian karena emfisema dan bronkitis kronis pada perokok sigaret lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian karena PPOM pada bukan perokok.Sejalan dengan pertambahan usia, perokok sigaret akan mengalami penurunan fungsi paru-paru yang lebih cepat daripada bukan perokok. Semakin banyak sigaret yang dihisap, semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru-paru.
 
B.    PENYEBAB
Ada 2 (dua) penyebab dari penyumbatan aliran udara pada penyakit ini, yaitu emfisema dan bronkitis kronis.

B.1. Emfisema
Emfisema adalah suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru, yang disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal, sekumpulan alveoli yang berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli), membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan, sehingga bronkioli kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan sifatnya menetap.
Pelebaran alveoli pada penderita emfisema

Bronkitis Kronis
Bronkitis kronis adalah batuk menahun yang menetap, yang disertai dengan pembentukan dahak dan bukan merupakan akibat dari penyebab yang secara medis diketahui (misalnya kanker paru-paru). Pada saluran udara kecil terjadi pembentukan jaringan parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial oleh lendir dan kejang pada otot polosnya. Penyempitan ini bersifat sementara.

Adanya bahan-bahan iritan menyebabkan peradangan pada alveoli. Jika suatu peradangan berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang menetap. Pada alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase), yang akan merusak jaringan penghubung di dalam dinding alveoli.Merokok akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada pertahanan paru-paru, yaitu dengan cara merusak sel-sel seperti rambut (silia) yang secara normal membawa lendir ke mulut dan membantu mengeluarkan bahan-bahan beracun.

Tubuh menghasilkan protein alfa-1-antitripsin, yang memegang peranan penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil estalase.Ada suatu penyakit keturunan yang sangat jarang terjadi, dimana seseorang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit alfa-1-antitripsin, sehingga emfisema terjadi pada awal usia pertengahan (terutama pada perokok).

Perbandingan antara alveoli normal dan pada penderita bronkitis kronis

C.    GEJALA

Gejala-gejala awal dari PPOM, yang bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok, adalah batuk dan adanya lendir. Batuk biasanya ringan dan sering disalah-artikan sebagai batuk normal perokok, walaupun sebetulnya tidak normal. Sering terjadi nyeri kepala dan pilek. Selama pilek, dahak menjadi kuning atau hijau karena adanya nanah. Lama-lama gejala tersebut akan semakin sering dirasakan. Bisa juga disertai mengi/bengek.
Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak nafas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Akhirnya sesak nafas akan dirasakan pada saat melakukan kegiatan rutin sehari-hari, seperti di kamar mandi, mencuci baju, berpakaian dan menyiapkan makanan.

Sepertiga penderita mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga penderita menjadi malas makan. Pembengkakan pada kaki sering terjadi karena adanya gagal jantung.

Pada stadium akhir dari penyakit, sesak nafas yang berat timbul bahkan pada saat istirahat, yang merupakan petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut.

D.    DIAGNOSIS
Riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik yang mendetail penting untuk menegakkan diagnosis PPOM. Pasien PPOM biasanya memiliki gejala asimtomatik. Penyakit ini tak terdiagnosis hingga paru-paru menunjukkan suatu gejala atau hingga pasien mengambil perawatan medis. Pada PPOM yang ringan, mungkin tidak ditemukan kelainan selama pemeriksaan fisik, kecuali terdengarnya beberapa mengingat pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop. Suara pernafasan pada stetoskop juga terdengar lebih keras. Akan tetapi pemeriksaan fungsi paru sangat penting untuk diagnosis.

D.1. Anamnesa dan Riwayat penyakit
Mengingat penyakit berjalan sangat lambat, sehingga penderita tetap asimtomatis selama bertahun sebelum gejala manifestasi, perlu diteliti benar adanya sifat batuk-batuk, adanya dahak, sesak nafas yang tidak wajar, “wheeze” yang mungkin merupakan tanda- tanda dini dari penyakit ini. Onset gejala bervariasi tapi sering tidak terjadi FEV1 (dalam satu detik) sekitar  50%.

Gejala awal termasuk batuk kronis (paling lama 3 bulan) yang mungkin intermiten pada awalnya, yakni, produksi sputum berlebihan dan dispnea. Gejala lanjutan, berupa terjadinya dispnea saat istirahat dan kemampuan beraktivitas sehari-hari menurun. Observasi pasien mungkin menampakkan penggunaan tambahan otot pernafasan (manifestasinya berupa pergerakan paradoksikal dada dan perut), pursed-lips breathing, dan hiperinflasi dada dengan meningkatnya diameter dan posterior (barrel chest) Pada auskultasi paru-paru, pasien mungkin mengalami nafas bersuara memanjang, wheezing, fase ekspirasi yang panjang dan ronchi. Pada gejala tingkat lanjut terjadi hipoksemia, sianosis dan Tanda korpulmonal termasuk peningkatan komponen pulmonal pada denyut jantung kedua, jugular venous distention (JVD), edema ekstrimitas bawah dan hepatomegali.

D.2. Pemeriksaan jasmani.
Gambaran kelainan jasmani yang klasik seperti digambarkan diatas. Pada tingkat penyakit yang dini mungkin tidak ditemukan kelainan apa-apa. Kemungkinan kelainan dini yang perlu diperhatikan : ekspirasi yang memanjang pada auskultasi di trakea dapat dipakai sebagai petunjuk adanya obstruksi jalan nafas yang dibuktikan dengan pemeriksaan spirometri.

D.3. Radiologik.
Terdapatnya kelainan pada foto thorax PA lateral menunjukkan tingkat perjalanan penyakit lanjut. Pada bronkitis Menahun gambaran normal pada 21 — 50%, sedangkan tanda Rontgenologis positif : over inflation, bayangan tubuler, corakan paru bertambah, defisiensi vaskuler (Fraser Pare). Pada emfisema terdapat kelainan dalam 2 perangai radiologik :
a). Dengan defisiensi arterial
b).Dengan corakan paru bertambah

Foto Thorax (CXR/chest X-Ray) memperlihatkan hiperinflasi paru, diafragma datar, bayangan jantung menyempit, gambaran bullous pada proyeksi frontal, dan peningkatan ruang udara interkostal pada proyeksi lateral. Akan tetapi, foto thorax dapat normal pada stadium awal penyakit ini dan bukan tes yang sensitif untuk diagnosis PPOM. Perubahan emfisematosa lebih mudah terlihat pada CT-Scan thorax namun pemeriksaan ini tidak cost-effective atau modalitas yang direkomendasikan untuk skrining PPOM. Walaupun pencitraan dapat memperlihatkan keberadaan PPOM, hanya spirometri yang merupakan standar kriteria untuk menegakkan diagnosis obstruksi saluran napas.

D.4. Uji Faal
Spirometri. merupakan pemeriksaan faal paru yang terpenting, untuk mendeteksi adanya obstruksi jalan nafas maupun derajat obstruksi. Hasil spirometri dapat mengindikasikan klasifikasi PPOM. Hambatan aliran udara pernafasan pada ekspirasi secara spirometri dinyatakan dengan :
•    Perumusan nilai-nilai Volume Ekspirasi Paksa 1 detik
•    (VEP10= FEV1.0)
•    Arus tengah Expirasi Maksimal (ATEM = MMEF).
•    Arus tengah Expirasi Maksimal (ATEM = MMEF).
•    Kapasitas nafas Maksimal (KNM = MBC/MVV).

* Keterangan :
- VEP 1.0 = merupakan parameter yang paling banyak digunakan untuk menentukan  obstruksi, derajat obstruksi , bahkan dapat menilai prognosis.

Uji pernapasan dengan spirometri

Untuk menunjukkan adanya sumbatan aliran udara dan untuk menegakkan diagnosis, dilakukan pengukuran volume penghembusan nafas dalam 1 detik dengan menggunakan spirometri. Pada penderita PPOM akan terjadi penurunan aliran udara selama penghembusan nafas.

Diagnosis PPOM didukung dengan penemuan obstruksi saluran udara persisten dengan menggunakan spirometri setelah pemberian bronkodilator (didefinisikan dengan FEV1/FVC kurang dari nilai prediksi ). Pengukuran volume paru dapat memperlihatkan adanya peningkatan pada volume residual dan kapasitas total paru walaupun diagnosis obstruksi saluran napas hanya dapat diketahui dengan keberadaan abnormalitas FEV1/FVC. Kapasitas keseluruhan karbon dioksida biasanya menurun dengan adanya emfisema namun normal pada pasien dengan bronchitis kronik.

Fungsi pulmoner biasanya menurun secara progresif dan walaupun diprediksi kurang akurat pada pasien tertentu, nilai rata-rata tahunan penurunan FEV1 yaitu 50 hingga 100 mL. Penurunan FEV1 dipercepat pada pasien yang tetap merokok. Aktivitas menurun secara bermakna ketika FEV1 hanya berkisar 1 L. FEV1 pasca bronkodilator, performa setelah berjalan selama 6 menit, derajat sesak napas, dan index massa tubuh telah diidentifikasi sebagai predictor harapan hidup.

Kriteria dari reversiblitas obstruksi jalan nafas:
Ada 3 aspek yang perlu dipertimbangkan untuk menilai reversibilitas jalan nafas :
• Volume ekspirasi Paksa 1 detik ( VEP1.0) kurang dari normal
• Arus Tengah Ekspirasi Maksimal (ATEM) (MMF).
• Kapasitas Vital Paksa.

Uji faal paru setelah pemberian obat-obat bronkodilator.
Umumnya kriteria irreversibel bila kenaikan nilai-nilai spirometri 15-25%, rata-rata 20%.
Gambaran spirometri dan volum airflow curve pada keadaan normal (atas) dan kelainan obstruktif (bawah)
Volume paru.
•    Volume residu (Residual volume = RV).
•    Kapasitas Paru Total (Total Lung Capacity = TLC).
•    Rasio VR/KPT
Pada emfisema volume residu meningkat, juga KPT, sedangkan Rasio VR/KPT. juga meningkat.Oleh karena VR lebih besar peningkatannya dari KPT.

Kapasitas diffusi.
Menurun pada emfisema yang menunjukkan kehilangan daya lenting statis.
Kelainan gas darah arteri adalah umumnya PO2 rendah dan PCO2 tinggi pada bronkitis menahun. Pada emfisema gambaran darah arteri umumnya normal kecuali pada stadium yang lanjut terjadi hipoksemia. Penentuan analisa gas darah penting dalam menilai derajat insufisiensi pernafasan atau kegagalan pernafasan. Asidosis dapat terjadi pada eksaserbasi akut umumnya disusul dengan kompensasirrenal yang mengembalikan pH darah dalam batas-batas normal. Analisa gas darah juga direkomendasikan ketika FEV1 bernilai 40% di bawah nilai prediksi, dengan adanya tanda cor pulmonale dan selama eksaserbasi akut berat untuk menilai oksigenasi dan kemungkinan adanya hiperkapnia.


Elektrokardiogram
Hipertensi pulmonal pada tingkat lanjut PPOM dapat diketahui dengan EKG.
Gambaran abnormal EKG antara lain :
•    P pulmonal.
•    Deviasi aksis kekanan
•    “Low voltage” sering pada emfisema.
•    Tanda-tanada hipertrofi ventikei kanan (RVH).
•    P pulmonal R V6 < 5, R/S <= 1 adalah yang sering terdapat pada gambaran EKG.

D.6. Tes laboratorium
Hematokrit meningkat, dan mungkin melampaui 55% (polisitemia). Pasien dicirikan dengan nomal atau peningkatan tekanan karbondioksida  arteri (PaCO2) dan penurunan tekanan oksigen arteri (Pa O2). Pada pasien kaukasian muda atau kurang dari 45 tahun memiliki kekurangan level α1-antitrypsin. Dalam darah menandakan tanda dan gejala PPOM, khusunya dengan keluarga yang memiliki riwayat enfisema. Defisiensi Alfa 1-antitripsin (A1AD or Alfa-1) adalah gangguan genetik yang disebabkan oleh gagalnya produksi alfa 1-antitripsin (A1AT), lalu memicu penurunan aktivitas  A1AT di darah, paru-paru dan deposisi kelebihan protein abnormal  A1AT sel hati. Severe A1AD menyebabkan emfisema dan atau PPOM pada orang dewasa. Rokok sangat berbahaya bagi individu dengan A1D1. selain itu meningkatkan reaksi inflamasi di saluran nafas, asap rokok secara langsung dapat menginaktivasi alfa 1-antitripsin.Radiografi dan high-resolution computed tomography (CT) serta gejala klinis pasien dapat membantu mengetahui jenis penyakit paru lainnya.

D.7. Diagnosa Banding.
•    Asma bronkial. Mudah dibedakan dengan asma yang klasik dengan memperhatikan reversibilitas obstruksi jalan nafas.
•    TB paru. Walaupun TB tidak termasuk PPOM tetapi bekas penderita TB sering memberikan gejala-gejala yang sama. Sindroma obstruktif diffus adalah istilah yang diberikan kepada penderita PPOM yang mempunyai latar belakang TB.
•    Bronkiektasis. Sebagian pengarang memasukkan bronkiektasis dalam kelompok PPOM yaitu yang disertai obstruksi jalan nafas. Riwayat radang saluran nafas pada masa kanak-kanak merupakan ciri utama. Diagnosa bronkiektasis hanya dengan bronkografi.
•    Penyakit-penyakit parenkim, intertitial yang diffus seperti: silicosis, TB lanjut/millier, sering memberi gambaran klinis yang serupa.
•    Penting untuk membedakan antara asma dan PPOM karena terapi dan prognosisnya berbeda. Faktor pembeda termasuk , kebiasaan merokok, pencetus, riwayat pekerjaan dan derajat reversibilitas terukur oleh spirometri pra dan pascabronkodilator. Pada pasien sulit dibedakan dengan jelas PPOM dan asma. Manajemen pasien PPOM dan asma sama. Bronkiektasis, sistis fibrosis, obliterative bronchiolitis, gagal jantung kongestif, dan tuberkolosis dapat dimungkinkan sebagai diagnosa pembeda.


E.    PENGOBATAN
Karena merokok sigaret merupakan penyebab paling penting dari PPOM, maka pengobatan utama adalah berhenti merokok. Menghentikan kebiasaan merokok pada saat penyumbatan airan udara masih ringan atau sedang, akan memperlambat timbulnya sesak nafas. Tetapi, berhenti merokok pada stadium manapun dari penyakit ini, pasti akan memberikan banyak keuntungan. Penderita juga harus mencoba untuk menghindari pemaparan terhadap bahan iritan lainnnya di udara.

Unsur-unsur dari penyumbatan aliran udara yang bisa diperbaiki adalah kejang otot, peradangan dan peningkatan jumlah lendir. Perbaikan dari unsur-unsur tersebut akan mengurangi gejala-gejala. Kejang otot bisa dikurangi dengan memberikan bronkodilator, termasuk agonis reseptor beta-adrenergik (albuterol inhaler) dan theophylline per-oral (melalui mulut) yang diserap lambat. Peradangan bisa dikurangi dengan memberikan corticosteroid, tetapi hanya 20% penderita yang memberikan respon terhadap corticosteroid.
Tidak ada pengobatan terpercaya yang dapat mengurangi kekentalan lendir sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk. Tetapi menghindari dehidrasi bisa mencegah pengentalan lendir. Minum cairan yang cukup untuk menjaga air kemih tetap encer dan bening. Pada PPOM yang berat, terapi pernafasan bisa membantu menghilangkan lendir di dada.

Terapi oksigen jangka panjang akan memperpanjang hidup penderita PPOM yang berat dan penderita dengan kadar oksigen darah yang sangat rendah.

Oksigen diberikan 12 jam/hari. Hal ini akan mengurangi kelebihan sel darah merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam darah, memperbaiki fungsi mental dan memperbaiki gagal jantung akibat PPOM.

Terapi oksigen juga bisa memperbaiki sesak nafas selama beraktivitas.
Program latihan bisa dilakukan di rumah. Program ini bisa meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian penderita, menurunkan frekuensi dan lamanya perawatan di rumah sakit dan meningkatkan kemampuan berlatih meskipun fungsi paru-parunya belum pulih sempurna.

Untuk melatih kaki bisa dilakukan latihan sepeda statis, naik-turun tangga dan berjalan.
Untuk melatih lengan bisa dilakukan latihan angkat beban.
Untuk penderita dengan kekurangan alfa-1-antitripsin yang berat, bisa diberikan protein pengganti melalui pemberian protein melalui infus setiap minggu.Pencangkokan paru-paru bisa dilakukan pada penderita dibawah usia 50 tahun.

Pada penderita dengan emfisema yang berat, bisa dilakukan pembedahan yang disebut operasi reduksi volume paru-paru. Prosedurnya rumit dan penderita harus berhenti merokok setidaknya 6 bulan sebelum pembedahan dan menjalani program latihan intensif.
Pembedahan akan memperbaiki fungsi paru-paru dan kemampuan berlatih.

F.    PROGNOSIS
30% penderita PPOM dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu 1 tahun, dan 95% meninggal dalam waktu 10 tahun.Kematian bisa disebabkan oleh kegagalan pernafasan, pneumonia, pneumotoraks (masuknya udara ke dalam rongga paru), aritmia jantung atau emboli paru (penyumbatan arteri yang menuju ke paru-paru). Penderita PPOM juga memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kanker paru. Pada PPOM yang ringan, mungkin tidak ditemukan kelainan selama pemeriksaan fisik, kecuali terdengarnya beberapa mengi pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop. Suara pernafasan pada stetoskop juga terdengar lebih keras.Biasanya foto dada juga normal.

Untuk menunjukkan adanya sumbatan aliran udara dan untuk menegakkan diagnosis, dilakukan pengukuran volume penghembusan nafas dalam 1 detik dengan menggunakan spirometri. Pada penderita PPOM akan terjadi penurunan aliran udara selama penghembusan nafas. Jika PPOM terjadi pada usia muda, dicurigai adanya kekurangan alfa-1-antitripsin, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar afa-1-antitripsin dalam darah.

G.    PENCEGAHAN
•  Merubah pola hidup : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.
•  Terapi ekserbasi akut dilakukan dengan :
•    Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi :
o    Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0,25 – 0,5 g/hari atau aritromisin 4 x 0,5 g/hari.
o    Augmentin (amoxilin dan asam klavuralat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Catarhalis yang memproduksi B. Laktamase. Pemberian antibiotic seperti kotrimoksosal, amoksisilin atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempererat kenaikan peak flowrate. Namun hanya dalam 7 – 10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antiobiotik yang lebih kuat.
•    Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas CO2.
•    Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
•    Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termsuk didalamnya golongan adrenergic B dan antikolinergik. Pada pasien dapat diberikan sulbutamol g diberikan tiap 6 jam denganm5 mg dan atau protropium bromide 250 rebulizer atau aminofilin 0,25 – 05 g IV secara perlahan.
•  Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
•    Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4 x 0,25 – 0,5/hari dapat menurunkan ekserbasi akut.
•    Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif fungsi foal paru.
•    Fisioterapi.
•    Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi akivitas fisik.
•    Mukolitik dan ekspekteron.
•    Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas Tip II dengan PaO2
•    Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatna sosialisasi agar terhindar dari depresi. 

Rehabilitasi untuk pasien PPOK/COPD: 
a) Fisioterapi 
b) Rehabilitasi psikis 
c) Rehabilitasi pekerjaan

Pencegahan Penyakit Paru Pada Usia Lanjut
Proses penuaan pada seseorang tidak bisa dihindari. Perubahan struktur anatomik maupun fisiologik alami juga tidak dapat dihindari. Pencegahan terhadap timbulnya penyakit-penyakit paru pada usia lanjut dilakukan pada prinsipnya dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya dengan memperbaiki keadaan gizi, menghilangkan hal-hal yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, misalnya menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol dan sebagainya.

Pencegahan terhadap timbulnya beberapa macam penyakit dilakukan dengan cara yang lazim, diantaranya:

1.    Usaha pencegahan infeksi paru / saluran nafas
Usaha untuk mencegahnya dilakukan dengan jalan menghambat, mengurangi atau meniadakan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya infeksi. Hal positif yang dapat dilakukan misalnya dengan melakukan vaksinasi dengan vaksin pneumokok untuk menghindari timbulnya pneumoni, tetapi sayangnya pada usia lanjut vaksinasi ini kurang berefek (Mangunegoro, 1992).

2.    Usaha pencegahan timbulnya PPOM atau karsinoma paru
Sejak usia muda, bagi orang-orang yang beresiko tinggi terhadap timbulnya kelainan paru (PPOM dan karsinoma paru), perlu dilakukan pemantauan secara berkala :
1. Pemeriksaan foto rontgen toraks.
2. Pemeriksaan faal paru, paling tidak setahun sekali. Sangat dianjurkan bagi mereka yang beresiko tinggi tadi (perokok berat dan laki-laki) menghindari atau segera berhenti merokok.

H.    PENUTUP

H.1. Kesimpulan:
-  PPOM adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya penyempitan saluran nafas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu.PPOM terdiri dari kumpulan tiga penyakit yaitu Bronkitis kronik, Emfisema paru dan Asma.

-  Faktor resiko dari PPOM adalah : merokok sigaret yang berlangsung lama, Polusi udara, Infeksi paru berulang, Umur, Jenis kelamin, Ras, Defisiensi alfa-1 antitripsin, Defisiensi anti oksidan
-  Penatalaksanaan pada penderita PPOM : Meniadakan faktor etiologi dan presipitasi, Membersihkan sekresi Sputum, Memberantas infeksi, Mengatasi Bronkospasme, Pengobatan Simtomatik, Penanganan terhadap komplikasi yang timbul, Pengobatan oksigen, Tindakan ”Rehabilitasi”.

H.2. Saran :
1. Untuk Penderita
Menghindari faktor resiko :
-     Anjurkan penderita untuk tidak merokok
-     Anjurkan penderita untuk cukup istirahat
-     Anjurkan penderita untuk menghindari alergen
-     Anjurkan penderita untuk mengurangi aktifitas
-     Anjurkan penderita untuk mendapatkan asupan gizi yang cukup

2. Untuk keluarga
Memberikan dukungan :
-    Anjurkan keluarga untuk memberi perhatian pada penderita
-    Anjurkan keluarga untuk memantau kondisi penderita
-    Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang kondusif


DAFTAR PUSTAKA

Anes, S.W.. 1998. Essential of Adult Health Nursing. California: Menlo Park.
Baratawidjaja, G.K.. 1990. Asma Bronkhiale dalam Soeparman Ilmu Penyakit Dalam
jilid II. Jakarta: FK UI.
http://filzahazny.wordpress.com/2010/01/15/diagnosis-penyakit-paru-obstruksi-menahun/
Chrisholm Burns, Marie A dkk. Pharmacoteraphy principle and practice. 2008. USA : Mc Graw Hill Companies
http://www.goldPPOM.org

Compiled by : 
Royan Dawud Aldian BME UNAIR '09


1 komentar:

Silahkan memberikan tanggapan/komentar anda dikotak komentar dibawah ini, mohon tidak melakukan spam dalam komentar.

 
Iklan Jawa Pos | Toyota Insurance | Trainingsgerate